Awal tahun 2007, berawal dari Kopi Darat dibaca: Kopdar—istilah yang dipakai untuk temu muka para chatter (pengguna chat), tepatnya di lantai 6 foodcourt center Blok M, Plaza, gw kenal sama anak2 30.
Gue mungkin termasuk orang yang terlambat mengenal dunia maya ketimbang lainnya. Sore itu, bersama tiga teman gue yang sama2 baru nyemplung di dunia chatting (Ayam, Sate, DVD).
“Gila, tampangnya serem-serem amat yah,” tutur Ayam dengan nada gemetar. Padahal si Ayam punya tampang lebih menakutkan dengan rambut gondrongnya yang jarang di sampo.
Dengan rasa nekat kami menghampiri gerombolan “sangar”.
Coba berkenalan, ternyata mereka menyembunyikan identitas aslinya, nickname yang mereka gunakan sebagai identitas. Banyak nama konyol bahkan mengada-ada, termasuk gue yang ikut2an.
“Nama gw dukun santet,” (padahal gw iseng aja pake nama ini, biar serem. Tau2nya malah keterusan tenar dipanggil dukun_santet)”
Sejenak bengong gue berfikir, bahwa sifat dasar manusia untuk tidak percaya dengan orang lain, terlebih yang baru dikenalnya. Itulah salah satu alasan kenapa para chatter cenderung menyembunyikan identitas aslinya. Tidak hanya pada nama, bahkan informasi yang berkenaan dengan usia, tempat tinggal (lokasi), pekerjaan dan tempat kerja, sampai --ini yang paling sering dirahasiakan.
Adalah Indri, yang belakangan diketahui wanita cantik ini adalah ibu rumah tangga di Jakarta Global Chat (JGC) 30. Dengan senyum manis, Indri bersama Katon (pacarnya waktu itu) mengulurkan tangannya. Mereka berdua dengan jujurnya berhasil mencairkan rasa kaku gue melebur satu dengan komunitas ini. (thanks yah sobat).
Sikap kehati-hatian untuk menyembunyikan identitas, kemudian berlanjut dalam obrolan hangat, selanjutnya dan seterusnya. “Besok maen ke tempat gue yaks,” tukas DVD mengajak anak-anak lainnya seraya meninggalkan nomer telpon sebelum kita cabut.
Dalam proses yang unik di beberapa room chat. Gue sedikit mulai mengerti bahwa masing-masing lawan bicara dalam chatting cenderung 'omong palsu' karena mereka pun melakukan hal yang sama, para chatting mania itu ternyata sangat menikmati obrolan (palsu) dalam room.
Tapi, ini berbeda ketika Indri narik gw dan kawan2 ke JGC 30. Dalam waktu singkat ternyata teman-teman di JGC 30 mampu menembus dunia tanpa batas dalam ruang dan waktu. Kita juga sering kumpul bersama dalam canda dan tawa di acara Kopdar berikutnya.
Menyelam semakin dalam gue nikmatin suatu arena 'tebar pesona' di dunia chat. Mulai dari atraksi intelektual, untaian kata indah menyentuh hati hingga rayuan gombal pun tidak lepas menghiasi kamar pribadi—kojoman-- gue.
Sampai tersadar, ternyata dalam maya ada solidaritas sejati dalam lingkar persahabatan tanpa mengenal latar belakang. Juga ada cinta, yang wanginya tak kalah dengan mawar yang tumbuh di pelataran surga.
Salam kompak JGC 30.